Friday, June 2, 2017

Pergulatan Pancasila Antara Ucapan dan Tindakan


MALANGTODAY.NET –  Presiden RI Joko Widodo telah menetapkan 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila. Keputusan itu disampaikan dalam peringatan pidato Bung Karno, 1 Juni 1945 di Bandung, Jawa Barat tahun lalu. Tanggal 1 Juni 2017 lalu merupakan kali pertama bangsa Indonesia melaksanakan upacara peringatan lahirnya Pancasila.

Pancasila yang disarikan dari nilai-nilai luhur bangsa Indonesia, konsep dan rumusan pertama kali dikemukakan oleh Soekarno dalam sidang Dokuritsu Junbi Cosakai atau Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BUPPKI). Panitia Sembilan yang merupakan bentukan BUPPKI selanjutnya ditugaskan merumuskan kembali Pancasila sebagai Dasar Negara berdasar pidato Soekarno, yang saat itu disampaikan tanpa teks.

Komitmen para pendiri bangsa telah menepis segala ego perbedaan, kesukuan, ras, agama dan lain sebagainya. Saat itu, semangat yang muncul adalah Kemerdekaan Indonesia dan seiring waktu berjalan Bangsa Indonesia telah berdiri dengan dasar negara Pancasila.

Zaman bergulir dan era berlalu. Singkat cerita, Orde Lama berganti Orde Baru dan Orde Reformasi. Pancasila diaplikasikan dalam kehidupan bernegara dengan ‘versi’ zamannya. Setelah hampir 20 tahun sejak reformasi 1998, Pancasila kembali menjadi perbincangan hangat publik melalui sejumlah kebijakan Presiden Joko Widodo.

Pakar pemerintahan, Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid mengatakan, hari kelahiran Pancasila diramaikan diskusi, perdebatan, pemujaan hingga kritik terhadap sakralisasi. Ryaas mengingatkan agar Pancasila tidak terus-terusan dipelihara sekadar sebagai mantra, ritual dan retorika belaka.

Dalam kenyataan ia mempertanyakan, apakah Pancasila sudah hadir melalui semua kebijakan negara? Apakah sudah hadir di kantor-kantor polisi, kejaksaan, pengadilan, kantor pemerintah lainnya dan di pasar-pasar? Ryaas sangat mencemaskan tentang kehidupan bangsa Indonesia saat ini. Yang membuatnya cemas adalah semakin nyatanya perbedaan dan jurang antara kata dan perbuatan.

“Hilanganya daya genggam masyarakat terhadap setiap janji para pemimpin, sulitnya menemukan sebutir keadilan sosial di tengah lautan kehidupan yang luas dan carut marut,” katanya seperti dilansir dari Portal-Islam.id.

Sementara di sisi lain, dr. Gamal Albinsaid meneropong kondisi kekinian Indonesia. Lewat akun http://ift.tt/2rMnCyH mengatakan bahwa dari tahun ke tahun kekayaan orang terkaya di Indonesia semakain menyakitkan. Di tahun 2011 kekayaan 40 orang terkaya di Indonesia sama dengan kekayaan 77 juta penduduk Indonesia.

Padahal sebelumnya, pada tahun 2008, kekayaan 40 orang terkaya di Indonesia sama dengan kakayaan 30 juta penduduk Indonesia. Februari lalu, dokter muda yang menjadi CEO Indonesia Medika itu mengatakan, kekayaan 4 orang terkaya di Indonesia sama dengan kekayaan 100 juta penduduk Indonesia.

“Ya kawan, kita terus berjalan ke arah kesenjangan yang memicu ledakan sosial. Menyakitkan mengetahui bahwa di negara kita so few have so much, so many have so little,” katanya.

Luka itu semakin menganga, takala kita tahu bahwa koefisien gini (tingkat ketimpangan pendapatan) naik pesat dari 0,3 di tahun 2000 menjadi 0,42. Lebih menyesakkan dada lagi, Credit Suisse Indonesia, sebuah lembaga investasi mengatakan kita sudah menjadi negara peringkat ke-4 yang memiliki kesenjangan ekonomi yang timpang setelah Rusia, India, dan Thailand. Bayangkan, 1 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 49,3% aset di Indonesia

Bank Dunia juga angkat bicara, pertumbuhan ekonomi selama 1 dasawarsa terakhir hanya menguntungkan 20 persen orang terkaya, sementara 80% sisanya tertinggal di belekang. Hal ini yang mengakibatkan 61 persen masyarakat kita memilih menerima pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah asalkan ketimpangan juga berkurang.

Kesenjangan yang ada di negeri kita tidak boleh dilihat hanya soal angka, tapi itu soal luka. Luka yang harus kita ingat dan rasakan bersama.

Pemerintah boleh berbangga mengatakan angka kemiskinan kita turun menjadi 10,9% masyarakat miskin atau sekitar 28 juta penduduk dan menargetkan menjadi 9-10% pada tahun ini. Tapi jika garis kemiskinan kita hanya Rp 354.386, maka saya yakin bahwa banyak orang-orang miskin yang tidak diakui miskin.

“Saya yakin tanpa wirausaha sosial pertumbuhan ekonomi kita tidak akan berkorelasi dengan perbaikan kesejahteraan bangsa kita,” katanya.

Negeri kita butuh wirausaha sosial, orang-orang yang bukan hanya berpikir tentang uang di tangan, tetapi juga berpikir tentang kebaikan, kebermanfaatan dan kepedulian. Jadilah wirausaha negarawan yang bekerja untuk menyelesaikan berbagai masalah bangsa. Semua ini masih jarang ditemui di wirausaha kita.

Kita butuh terjemahan dan aplikasi ekonomi yang ber-Pancasila, lepas itu hasil terjemahan Orde yang mana. Sebuah sistem ekonomi yang memberikan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia, sebagaimana tujuan bangsa ini.

The post Pergulatan Pancasila Antara Ucapan dan Tindakan appeared first on MalangTODAY.

http://ift.tt/2sllGdv

Related Posts:

0 comments:

Post a Comment