Sunday, November 20, 2016

Dwi Ratih Ramadhany, Dari Spesialis Cerita Horor Hingga Dibalik Meja Editor


download-1
MALANGTODAY.NET – Dwi Ratih Ramadhany, nama yang tidak asing lagi bagi pegiat dunia kepenulisan, khususnya di Kota Malang. Dara cantik asli Pulau Garam alumni Sastra Inggris Universitas Negeri Malang (UM) tersebut, bersahabat dengan dunia literasi sejak masih berseragam biru putih. Bermacam prestasi di bidang kepenulisan berhasil diraihnya dengan mulus.
Berbagai cerita pendek (Cerpen) buatannya pun telah mengudara di media, dan bisa dengan mudah dinikmati pembaca, salah satunya cerpen ‘Pemilin Kematian’ yang berhasil meraup perhatian pembaca.
Saat ini, maestro cerpen horor tersebut tengah disibukkan dengan rutinitasnya sebagai salah satu editor Gramedia Pustaka Utama (GPU). Seperti diketahui bersama, Gramedia adalah salah satu penerbit ternama di Indonesia yang juga menyelenggarakan lomba kepenulisan bertajuk Gramedia Writing Project. Event GWP berhasil menjaring 20 peserta terpilih dari 1600 naskah yang masuk. Proses penjurian pun masih terus berlangsung, hingga pada akhirnya, terpilihlah 9 penulis untuk mengerjakan 3 naskah: MetroPop, TeenLit, dan Horor.
Ratih dapat jatah menulis horor bersama 2 teman penulis lainnya. Ratih cs membutuhkan waktu sekitar 3-4 bulan untuk menulis dan revisi.
“Hal tersebut sangat seru dan menantang tentunya. Banyak yang saya pelajari ketika menulis dan revisi,” terangnya pada Malang Today.
Gramedia Writing Project bak sampan yang mengantarkan Ratih pada impiannya, editor Gramedia Pustaka Utama. “Rasanya bersyukur banget bisa jadi bagian dari GPU. Menjadi editor adalah salah satu impian saya sejak menggeluti bidang penulisan. GPU, bagi saya, seperti pintu ke mana saja yang dimiliki Doraemon. Membaca buku terbitan GPU, saya merasa bisa berkelana ke mana saja, meraup wawasan sebanyak-banyaknya,” imbuhnya.
Menjadi seorang editor tidak lantas membuat Ratih itu abai dengan hobinya, kendatipun harus berkutat dengan tumpukan naskah siap koreksi, Ratih tetap berusaha menjaga konsistensinya sebagai penulis. “Sebagai editor, tugas saya ya menyunting naskah, tata bahasa, memberi masukan kalau ada luput dari logika cerita yang dibangun, dan memastikannya layak dimiliki pembaca. Ya, walau pada akhirnya, tetap penulis itu yang memutuskan akan menggunakan masukan editornya atau tidak.
Editor hanya membantu penulis melihat naskahnya dari sudut pandang pembaca,” ungkapnya. Bersama GPU, Ratih menjadi lebih kepikiran dalam perkara tulis-menulis. Terbiasa mengedit tumpukan naskah, menjadikan dirinya lebih serba teliti dan serba hati-hati dalam berkarya. Hal tersebut membuat Ratih membutuhkan waktu lebih lama untuk menelurkan karya barunya. Menjadi editor GPU memberi warna tersendiri bagi Ratih, baik suka maupun duka.
“Sampai sekarang banyak sukanya sih. Rekan-rekan kerja sangat kooperatif dan seru. Banyak ketawa, banyak bahagia. Kalau duka, mungkin bukan duka ya istilahnya, aku menyebutnya tantangan. Seperti ketika dapat naskah yang harus diedit besar-besaran, banyak Typo, tata bahasa, logika cerita yang masih lompat-lompat dan perlu revisi. Itu tantangan yang harus dihadapi. Asyik kok, greget,” candanya.
Bagi gadis berhijab itu, kunci utama agar bisa konsisten dalam menyelami dunia kepenulisan ya, tentu saja menulis dan membaca. Semakin banyak yang dibaca, semakin banyak yang diserap (sadar maupun tidak), yang kelak mungkin bisa menjadi bibit ide untuk mulai menulis. Ketika harus dihadapkan dengan kebuntuan ide ya, solusinya kembali lagi ke membaca. Membaca bisa dengan cara apa saja: membaca buku, membaca situasi, membaca (menonton) film, dll. Selain itu, peran lingkungan juga memengaruhi. Ada penulis yang motivasi menulisnya tidak terpengaruh seberapa sering dia bertemu teman sesama penulis atau pecinta buku. Tapi ada juga yang perlu frekuensi berkumpul dengan teman “seperjuangan” untuk sharing dan menyerap motivasi agar semangat menulis.
Ketika disinggung sebagai salah satu pemudi yang menginsipirasi, Ratih berkelakar bahwa dirinya belum merasa sepenuhnya menginspirasi. Ratih berasusmsi, “mungkin karena saya terjun ke dunia penulisan lebih dulu dari adik-adik penulis yang lebih muda maupun teman sebaya, kali ya. Tetapi, saya percaya banyak teman-teman yang lebih menginspirasi, namun belum terekspos ke media. Saya ikut senang jika pengetahuan yang saya miliki dan pelajari bisa bermanfaat utk orang lain. Saya juga masih perlu sharing dan banyak belajar,” bebernya
Ratih berpesan, jika ingin menulis maka, luangakn waktu juga untuk membaca dan menulis. Harus peka juga terhadap sekeliling atau bisa didefinisikan dengan “membaca situasi”. Bagi Ratih, Peristiwa menarik dalam cerita, terkadang, bisa terinspirasi dari kejadian di sekitar. Selebihnya tulislah.
“Teruslah menulis. Selesaikan dulu tulisannya. Biasanya, penulis pemula bolak-balik halaman awal tulisan dan sibuk mengedit/mengubahnya padahal naskahnya belum selesai, ini kadang membuatnya tidak fokus melanjutkan naskah. Saran saya, tuntaskan dulu. Disuntingnya nanti saja jika sudah selesai. Oh iya, bagi saya, menulis seperti memahat kayu, butuh ketekunan. Harus sabar dan sering dilatih,” pungkasnya. (Tin/MG2)

The post Dwi Ratih Ramadhany, Dari Spesialis Cerita Horor Hingga Dibalik Meja Editor appeared first on MalangToday.

http://ift.tt/2g7HlCG

Related Posts:

0 comments:

Post a Comment