
MALANGTODAY.NET – Kota Malang, kota terbesar ke dua di Jawa Timur setelah Surabaya ini memiliki luas lahan sekitar 145,28 kilometer persegi. Berada di daerah yang lumayan tinggi, Malang sejak dulu dikenal sebagai kota yang sejuk dan dingin.
Namun seiring perkembangan waktu, kota pendidikan ini sekarang dikenal sebagai kota yang sangat macet bahkan menjadi langganan banjir. Karena selama musim ekstrem dan penghujan datang, banjir atau yang dibahasakan sebagai genangan air itu selalu menyapa warga Malang.
Baca Juga: Dituding Sindir Chika Jessica dan Artis Alay, Deddy Corbuzier Posting Ini di Instagram
Karena terletak di dataran tinggi, sebagian orang bahkan merasa geli dengan kondisi Kota Malang yang mengalami banjir. Sebab hal itu dinilai sedikit mustahil untuk daerah yang tinggi. Pertanyaanpun berdatangan terkait penyebab terjadinya banjir di kota yang juga berjuluk sebagai kota bunga ini.
Ketika ditarik benang merah, masalah banjir dan macet yang terjadi di Kota Malang ternyata masih memiliki keterkaitan. Hal itu disampaikan Ahli Tata Ruang sekaligus Dosen Arsitektur ITN Malang, Ir.Budi Fathony,MTA.
Menurut Budi, salah satu penyebab terjadinya banjir dan kemacetan di Kota Malang adalah karena masih semrawutnya sistem tata ruang kota yang ditetapkan. Lantaran pengembangan dilakukan hanya berdasar pada keuntungan, bukan berkaca pada dampak lingkungan dalam jangka pendek ataupun panjang.
Baca Juga: 4 Tips Untuk Konsumsi Mie Agar Tidak Berbahaya Bagi Kesehatan
“Padahal, sejak empat tahun yang lalu sudah ada peraturan tentang Tata Kota itu sendiri. Tapi apa kesepakatan itu sudah dipublikasikan atau belum, itu yang menjadi pertanyaan,” katanya pada MalangTODAY.net, Senin (12/3).
Menurutnya, pengembangan wilayah harusnya mengacu pada Tata Ruang yang telah dibuat. Artinya, para pengembang tidak boleh melanggar aturan yang telah diterbitkan, dan pemerintah juga harus konsisten dengan apa yang telah mereka buat.
Selain itu, pengembangan yang berdasarkan tata ruang menurutnya juga akan memberi batasan. Sehingga tidak membludak seperti yang terjadi sekarang. Di mana kawasan yang harusnya dilindungi sebagai zona ruang hijau terbuka ataupun zona Cagar Budaya tidak digeser oleh kepentingan khusus.
Baca Juga: Gelapkan Barang Perusahaan, Sales Nakal Asal Singosari Diciduk Polisi
Namun kenyataannya sekarang, lanjut Budi, pengembang cenderung membidik kawasan yang sangat strategis. Sementara pemerintah memberi izin pembangunan yang tak sesuai dengan kondisi tata ruang yang diperlukan.
“Seperti perumahan Griya Shanta contohnya,” tambah Budi.
Di kawasan tersebut, mulanya pengembang berencana untuk membangun kawasan koridor perumahan sebagai daerah elit layaknya di Idjen Boulevard. Namun saat ini, ternyata tumbuh puluhan ruko serta sebuah rumah sakit yang sama sekali tidak masuk dalam rencana awal.
Baca Juga: Egy Maulana Vikri Resmi Milik Klub Lechia Gdansk
“Harusnya pemerintah tidak memberi izin usaha dan ekonomi di sana, karena itu kawasan perumahan. Dan akhirnya sekarang malah memunculkan kawasan baru,” paparnya lagi.
Terlebih, karena pembangunan yang tak begitu memperhatikan kawasan, ketika hujan deras wilayah tersebut menjadi langganan banjir. Sebab sungai besar yang berada tepat di depan kawasan ruko dan rumah sakit itu sekarang malah menyempit.
Begitu juga dengan drainase kota yang membujur dari utara ke selatan yang menurutnya tidak jelas. Sehingga air larinya ke arah utara, tepatnya menuju sungai di balik gedung showroom kawasan Soekarno Hatta (perempatan monumen pesawat Soehat).
Baca Juga: Google Doodle Hari Ini Untuk Sang Penemu Warna Ungu, Sir William Henry Perkin
Selain itu, karena semakin pesatnya perkembangan Kota Malang, kini bahkan para pengembang perumahan jarang memperhatikan prosedur yang ada. Salah satunya terkait penyediaan ruang terbuka hijau (RTH). Di mana RTH semestinya memiliki porsi yang besar.
“Untuk satu kavling, seharusnya 60 persen adalah bangunan dan sisanya RTH atau sebaliknya. Tapi sekarang tidak seperti itu, sisi 10 persen saja masih dipaksakan dibangun toko atau sebagainya,” tambah Budi.
Hal itu jelas menurutnya membuat lingkungan pemukiman tidak seimbang. Saat lingkungan ekstrem seperti sekarang, jelas akan mengakibatkan genangan air di mana-mana lantaran tidak adanya resapan.
Baca Juga: Perbaiki Kesehatan Masyarakat Kota Malang Sejak Dini Lewat Posyandu
Parahnya lagi, pemilik rumah dengan RTH tak seberapa terkadang memaksakan sedikit lahannya untuk tempat berjualan. Sedangkan mobil pribadinya di parkir di jalanan. Sehingga menjadi penyumbang kemacetan.
Lebih lanjut dia menegaskan, penataan sederet kawasan yang tak tepat menurutnya juga sangat menganggu lalu lintas jalan. Pedagang kaki lima yang berjualan di pinggir jalan semestinya lebih ditertibkan dan dicarikan tempat khusus. Sehingga tidak mengganggu pejalan kaki ataupun pengguna jalan.
Baca Juga: Sulit Temui Padi, Kota Malang Kini Makin Subur dengan Besi Beton
“Ekonomi semakin membaik, tapi akses jalan banyak yang menyempit, dan kredit kendaraan pribadi semakin dipermudah,” paparnya.
Dengan kondisi seperti sekarang, menurutnya pemerintah harus lebih berhati-hati lagi ketika akan melakukan pengembangan. Para investor pun semestinya harus melihat dampak yang akan dialami Kota Malang ke depan.
Budi menyampaikan, wilayah Klojen dan Lowokwaru semestinya sudah cukup sebagai pemukiman padat, dan tak harus lagi dikembangkan. Pemerintah dia harap lebih memperhatikan wilayah perbatasan kota dan Kabupaten Malang. Di mana di beberapa kawasan tersebut masih ada kawasan yang dapat dikembangkan lagi.
“Di kawasan ITN sebenarnya masih ada lahan yang bisa dikembangkan. Tapi kan kalau masih tetap dipaksakan nanti sawahnya akan hilang. Inilah, kita sudah terlambat membenahi karena pengembangan tak berbasis lingkungan,” jelasnya panjang.
The post Terkuak, Ternyata Ini Penyebab Kota Malang Sering Macet dan Banjir! appeared first on MalangTODAY.
http://ift.tt/2GfSxYg
0 comments:
Post a Comment