
MALANGTODAY.NET – Istilah ‘Generasi Milenial’ menjadi sorotoan akhir-akhir ini. Sebuah istilah yang menarik dalam kancah pemilihan umum (pemilu) yang akan diselenggarakan di tahun 2019 ini. Pasalnya generasi millenial dianggap mewakili potensial suara yang mampu mewakili kaum muda atau partisipasi pemula.
Pada Pemilu 2014, diperkirakan ada sekitar 18,3 juta pemilih pemula dari kalangan generasi muda berusia antara 17 dan 24 tahun. Pada tahun ini, miminjam penelitian LIPI, sekitar 35 persen sampai 40 persen atau jumlahnya sekitar 80 juta dari 185 juta pertisipasi. Jumlah yang “menggiurkan” bagi kantong suara partai yang memperebutkannya.
Hal tersebut menunjukkan bahwa jumlah generasi milenial ini menjadi sangat berarti dalam partisipasi politik, yang mana mereka akan menjadi penyumbang suara yang cukup signifikan bagi keberlangsungan Pemilu tahun ini.
Golongan pertisipasi pemula ini menjadi target utama bagi politisi-politisi yang saat ini mengajukan diri sebagai anggota dewan, bahkan partai politik sekalipun. Mereka melihat tingkat kematangan kaum milenial ini yang terkadang sedikit labil sehingga mudah dipengaruhi keberpihakannya.
Seberapa jauh tingkat partisipasi generasi muda dalam bidang politik sering kali menjadi bahan perdebatan. Generasi muda ini sering kali dianggap sebagai kelompok masyarakat yang paling tidak peduli dengan persoalan politik.
Generasi ini dianggap kerap menutup diri, tidak berminat pada proses dan persoalan politik, serta memiliki tingkat kepercayaan rendah pada politisi dan sinis terhadap berbagai lembaga politik dan pemerintahan (Pirie & Worcester, 1998; Haste & Hogan, 2006).
Dulu pandangan ini sering kali dibenarkan dengan data yang menunjukkan bahwa generasi muda yang bergabung ke dalam partai politik relatif sedikit. Bahkan cenderung memilih menjadi golput dalam pemilu. Namun, sejumlah pandangan akhir-akhir ini menunjukkan kekeliruan. Ada pandangan menyebutkan bahwa generasi muda adalah kelompok yang dinilai paling peduli terhadap berbagai isu politik.
Penelitian yang dilakukan EACEA (2013) terhadap generasi muda memeberikan kesimpulan bahwa generasi muda mampu mengemukakan preferensi dan minat mereka terhadap politik. Sebagian dari mereka bahkan lebih aktif dari kebanyakan generasi yang lebih tua. Mereka juga menginginkan agar pandangan mereka lebih bisa didengar. Namun, bentuk partisipasi politik generasi muda dewasa ini cenderung menunjukkan perubahan dibandingkan dengan generasi pendahulunya.
Pada masa lalu bentuk partisipasi politik lebih bersifat konvensional dan cenderung membutuhkan waktu lama, misalnya aksi turun ke jalan melakukan demonstrasi atau boikot, tindakan politik (political actions) generasi muda dewasa ini dipandang sebagai sesuatu yang “baru” karena tidak pernah terjadi pada masa satu dekade lalu.
Contohnya adalah partisipasi politik melalui internet dan media sosial. Tindakan politik generasi muda masa kini memiliki sifat cenderung lebih individual, bersifat spontan (ad-hoc), berdasarkan isu tertentu dan kurang terkait dengan perbedaan sosial. Hal ini lah menjadikan generasi muda sebagai “Brand Ambassador” gratis untuk menyampaikan visi dan misi bagi politikus maupun partai pemilu.
Di satu sisi ada harapan besar bagi generasi milenial untuk mampu memberikan warna dengan membawa dinamika politik yang sehat dan dinamis tanpa adanya unsur SARA. Tahun ini merupakan momentum politik yang tepat bagi para generasi milenial untuk bisa kritis, tanggap, kreatif, dan advokatif. Langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam mengisi pesta demokrasi antara lain dengan mendorong gerakan antigolput, tidak ikut menyebarkan hoax, saling menghargai satu sama lain atau ikut berkampanye tagar (hashtag) yang positif demi keberlangsungan pemilu yang lebih baik. (Ron/Bas)
The post Generasi Milenial, “Brand Ambassador” di Pemilu 2019 appeared first on MalangTODAY.
http://bit.ly/2PaexbJ
0 comments:
Post a Comment