Tuesday, May 16, 2017

KPK Pertimbangkan Penerapan Pidana Korporasi di Kasus BLBI


MALANGTODAY.NET – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mempertimbangkan secara serius untuk menerapkan pidana korporasi untuk memaksimalkan asset recovery atau pengembalian aset dalam penyidikan tindak pidana korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

“Kami dapatkan informasi tim penyidik sedang mempertimbangkan secara serius untuk menerapkan ketentuan-ketentian pidana korporasi sebagai salah satu cara untuk memaksimalkan asset recovery, jadi pemetaan aset obligor yang ada di Indonesia akan dilakukan oleh penyidik,” kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (7/5).

Penerapan pidana korporasi itu, kata Febri merupakan salah satu bagian dari strategi memaksimalkan asset recovery dalam kasus BLBI.

“Jadi penyidik sedang mempertimbangkan secara serius untuk menerapkan pidana korporasi sejauh mana itu nanti bisa diterapkan terutama untuk mengejar aset-aset atau pihak-pihak yang diuntungkan dari indikasi korupsi BLBI dengan kerugian negara sekitar Rp3,7 triliun,” tuturnya.

Lebih lanjut, Febri menyatakan dalam hal terdapat aset di luar negeri tentu saja kerja sama internasional akan dilakukan baik dengan jaringan yang sudah dibangun oleh KPK atau kerja sama internasional lainnya. Kerja sama internasional itu difasilitasi sesuai dengan United Nations Convention against Corruption yang sudah diratifikasi.

“Akan dilakukan kerja sama internasional untuk memaksimalkan asset recovery dan pengumpulan bukti yang lainnya,” ucap Febri.

Dalam penyidikan kasus BLBI itu, KPK pada Selasa memeriksa Plt Deputi BPPN Bidang Asset Management Investment (AMI) Stephanus Eka Dasawarsa Sutantyo sebagai saksi untuk tersangka Syafruddin Arsyad Tumenggung. Pemeriksaan merupakan penjadwalan ulang dari panggilan pada 3 Mei lalu. KPK juga mendalami terkait dengan tugas yang dilakukan oleh saksi pada proses penutupan BDNI dan proses penagihan yang dilakukan oleh BPPN.

Selain itu, KPK juga mendalami kepada saksi perihal kewajiban dari BDNI sekitar Rp4,8 triliun.

KPK menetapkan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Tumenggung sebagai tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada Sjamsul Nursalim.

Syafruddin sebagai Kepala BPPN sejak April 2002 mengusulkan perubahan kewajiban obligor Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) yang dimiliki Sjamsul Nursalim pada Mei 2002 sebesar Rp4,8 triliun, sehingga dari tadinya proses ligitasi menjadi hanya restrukturisasi yang menyebabkan kerugian negara mencapai Rp3,7 triliun.

Sjamsul adalah pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) dan perusahaan ban PT Gajah Tunggal dan sudah lari keluar negeri. Ia terakhir kali diketahui berada di Singapura yaitu di rumah duka Mount Vernon Parlour, Singapura saat melayat pengusaha Liem Sioe Liong alias Sudono Salim pada 18 Juni 2012.

Syafruddin disangkakan pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.

 

The post KPK Pertimbangkan Penerapan Pidana Korporasi di Kasus BLBI appeared first on MalangTODAY.

http://ift.tt/2pIiOcR

Related Posts:

0 comments:

Post a Comment