Tuesday, May 2, 2017

Stop Kasus Kekerasan Jurnalis dan Tepis Berita Hoax!


MALANGTODAY.NET – Berbagai kasus kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia menjadi sorotan. Setiap tahun terus meningkat. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mencatat sepanjang 2016 terjadi 76 kasus kekerasan, dibanding 2015 sebanyak 44 kasus. Sementara Januari-April 2017 sebanyak 24 kasus.

Berdasarkam keterangan tertulis yang diterima MalangTODAY.net, kekerasan terhadap jurnalis terus terulang karena lemahnya penegakan hukum. Polisi gagal mengungkap sebagian besar kasus kekerasan yang dialami jurnalis. Kekerasan dikhawatirkan akan meningkat tahun depan karena bersamaan dengan pemilihan kepala daerah serentak.

Kekerasan yang dialami jurnalis meliputi intimidasi, perampasan alat kerja, pemukulan dan menghalangi kerja jurnalistik. Pelaku kekerasan antara lain organisasi masyarakat, polisi, aparat militer dan aparatur pemerintah.

Terbaru, jurnalis Tabloid Jubi di Papua Yance Wenda, dianiaya aparat kepolisian ketika meliput demonstrasi Komite Nasional Papua Barat (KNPB) di Jayapura, Senin 1 Mei 2017. Dia mengalami luka di pelipis, bibir, mata, kepala dan punggung.

Sehari sebelumnya tiga jurnalis di Papua mengalami ancaman pembunuhan saat meliput sidang sengketa Pilkada di Pengadilan Negeri Jayawijaya, Papua.

Sebulan lalu, dua jurnalis Prancis dideportasi dari Timika saat melakukan kerja jurnalistik. Kekerasan ini menyebabkan indeks kebebasan pers 2017 tergolong buruk atau kategori merah.

Indeks Kebebasan Pers Dunia (World Press Freedom Index) 2017, Indonesia berada di peringkat 124 dari 180 negara. Indeks Kebebasan Pers Dunia dikeluarkan Reporters Without Borders  (Reporters Sans Frontières/RSF), organisasi nirlaba internasional bermarkas di Paris Prancis.

Organisasi ini mempromosikan dan memperjuangkan kebebasan informasi dan kebebasan pers di dunia. Data RSF kerap digunakan oleh lembaga internasional seperti Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) dan Bank Dunia dalam laporan tentang suatu negara.

Posisi Indonesia secara global cukup bagus dibandingkan Negara di kawasan Asia Tenggara. Sejumlah Negara berada di bawah Indonesia Filipina (peringkat 127), Burma (131), Kamboja (132), Thailand (142), Malaysia (144), Singapura (151), Brunei (156), Laos (170) dan Vietnam (175). Hanya Timor Leste yang lebih tinggi di peringkat 98.

Negara dengan indeks kebebasan pers terburuk diantaranya Kuba (peringkat 173), Sudan (174), Vietnam (175), Tiongkok (176), Suriah (177), Turkmenistan (178), Eritrea (179) dan terburuk adalah Korea Utara (180).

Sedangkan Negara yang memiliki kebebasan pers dan kebebasan informasi terbaik dunia adalah Norwegia, disusul Swedia, Finlandia, Denmark dan Belanda.

Rapor merah Indonesia terganjal kebebasan pers di Papua. RSF melaporkan jurnalis lokal maupun internasional sulit mengakses liputan di Papua. Sementara jurnalis Papua sering mengalami kekerasan saat melakukan kerja jurnalistik. RSF menyebut selama 2,5 tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo, tidak memenuhi janji untuk menjaga kebebasan pers dan informasi.

Sementara data Internasional Federation of Journalist (IFJ), sepanjang 2016 sebanyak 16 jurnalis tewas saat melakukan kerja jurnalistik. Sebangian besar bekerja di daerah konflik seperti Irak, Suriah, dan Afganistan. Sedangkan selama 10 tahun terakhir sebanyak 827 jurnalis tewas.

Di Indonesia, sebanyak delapan kasus kematian jurnalis yang belum terungkap. Terjadi impunitas, atau pembiaran oleh aparat penegak hukum.

Mereka adalah Fuad Muhammad Syarifuddin alias Udin (jurnalis Harian Bernas di Yogyakarta, 16 Agustus 1996), Naimullah (jurnalis Harian Sinar Pagi di Kalimantan Barat, ditemukan tewas pada 25 Juli 1997), Agus Mulyawan (jurnalis Asia Press di Timor Timur, 25 September 1999), Muhammad Jamaluddin (jurnalis kamera TVRI di Aceh, ditemukan tewas pada 17 Juni 2003), Ersa Siregar, jurnalis RCTI di Nangroe Aceh Darussalam, 29 Desember 2003), Herliyanto (jurnalis lepas tabloid Delta Pos Sidoarjo di Jawa Timur, ditemukan tewas pada 29 April 2006), Adriansyah Matra’is Wibisono (jurnalis TV lokal di Merauke, Papua, ditemukan pada 29 Juli 2010) dan Alfred Mirulewan (jurnalis tabloid Pelangi, Maluku, ditemukan tewas pada 18 Desember 2010).

Kasus ini harus diusut tuntas menggunakan Undang-Undang No. 40/1999 tentang Pers. Pada Pasal 18 pelaku diancam hukuman pidana penjara paling lama  dua tahun  atau  denda  paling  banyak  Rp.  500 juta.

Kekerasan juga dialami Pers Mahasiswa. Data Pengurus Nasional Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) sepanjang 2013-2016 terjadi 64 kasus kekerasan yang dialami Lembaga Pers Mahasiswa (LPM). Sebagian besar berupa intimidasi dan pembredelan. Jawa Timur menjadi provinsi yang terbanyak LPM mengalami kekerasan, disusul Jawa Tengah dan DI. Yogyakarta.

Sementara, berita palsu atau hoax terus membanjiri lini masa di media sosial. Sedangkan sebagian mengonsumsi informasi tanpa menyaring dan meneliti sumber berita. Dampaknya informasi terus mengalir seperti yang diingatkan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam bukunya “Blur: Bagaimana mengetahui kebenaran di era banjir informasi.”

The post Stop Kasus Kekerasan Jurnalis dan Tepis Berita Hoax! appeared first on MalangTODAY.

http://ift.tt/2p4pvk9

0 comments:

Post a Comment