
MALANGTODAY.NET – Diskusi seputar plastik, dewasa ini kita dihadapkan pada serangkaian manfaat yang perlahan mulai berbahaya bagi kelangsungan bumi dan umat manusia. Sebagai salah satu produk penting untuk kehidupan modern, namun nyatanya plastik memiliki ancaman signifikan mengingat setelah tak terpakai dan terbuang begitu saja, plastik akan bertahan dalam rentang waktu yang sangat lama di bumi.
Mengingat bahayanya sedemikian rupa, lalu apa ZensTODAY tahu bagaimana sejarah awal ditemukannya plastik?
Baca Juga: Geliat Pemerintah Kota Malang dalam Tingkatkan Melek Literasi
Sebelum mengetahui bagaimana sejarah plastik, perlu diketahui secara seksama apa itu plastik. Dilansir dari Science History, plastik sejatinya merupakan turunan dari bahan bernama polimer. Polimer sendiri tercipta dari rantai panjang molekul yang meinpah di alam. Manusia kemudian mengembangkan polimer sintetis yang bersifat kuat, ringan, dan lentur dalam satu setengah abad terakhir yang akhirnya dikenal dengan plastik sebagaimana yang kita kenal saat ini.
Plastik Sintetis Pertama di Dunia
Pada tahun 1869, sebuah perusahaan di New York tengah mengumumkan penawaran terbuka sebesar US$ 10.000 bagi siapapun yang dapat menemukan bahan pengganti gading demi menekan pasokan gading alam yang makin tak terkontrol akibat pembantaian terhadap gajah. John Wesley Hyatt kemudian memenangkan penawaran tersebut dengan memperkenalkan plastik sintetis yang yang dibuatnya dari campuran serat kapas dan kapur barus.
Penemuan ini menjadi revolusioner karena untuk pertama kalinya manufaktur manusia tidak terbatas pada unsur-unsur alam seperti kayu, logam, batu, hingga gading. Penemuan plastik kemudian ‘dinobatkan’ sebagai penyelamat dunia karena berhasil melindungi alam dari kekuatan destruktif kebutuhan manusia.
Baca Juga: Darurat Literasi, Bangsa Indonesia Gampang Kena Hoax
Upgrade Plastik Sintetis
Temuan Hyatt kemudian meninggalkan celah karena masih menggunakan bahan-bahan alam seperti kapas dan batu-batuan. Delapan tahun berselang, Leo Baekeland menemukan plastik jenis baru yang dinamai Bakelite. Plastik sintetis jenis ini sama sekali tidak mengandung molekul yang berada di alam.
Bakellite kemudian diperkenalkan dengan berbagai keunggulan. Di antaranya sebagai isolator, tahan panas, cocok untuk produksi massal mekanis. Bakelite juga dapat dibentuk hamper menjadi apa saja dan memberikan kemungkinan tanpa batas.
Hyatt dan Baekeland kemudian dipertemukan dan berhasil menggabungkan plastik ciptaannya dengan Bakelite. Tak hanya itu, mereka berdua kemudian memimpin perusahaan kimia dan melakukan investasi terhadap pengembangan polimer jenis baru.
Baca Juga: Yuk Belajar Sembuhkan Demam Gadget Pada Anak di LAB Inspirasi Al-Fatih
Industri, Kebutuhan Perang, dan Kekhawatiran Pasca Perang Dunia II
Perang yang berlangsung seiring dengan prioritas untuk melestarikan sumber daya alam yang langka membuat plastik tumbuh menjadi alternatif yang digemari oleh industri kebutuhan perang. Joseph L. Nicholson dan George R. Leighton dalam artikel berjudul Plastiks Come of Age di Harper’s Magazine pada tahun 1942 menyebutkan bahwa “plastik telah berubah menjadi penggunaan bary dan kemampuan beradaptasi plastik diperlihatkan sekali lagi”.
Selama Perang Dunia II, produksi plastik melonjak hingga 300 persen. Namun kekhawatiran pengamat akan hegemoni plastik mulai tampak seiring dengan permintaan dunia yang makin besar terhadap produk tersebut. Susan Freinkel dalam buku berjudul Plastiks: A Toxic Love Story mangatakan sebagai berikut.
“In product after product, market after market, plastiks challenged traditional materials and won, taking the place of steel in cars, paper and glass in packaging, and wood in furniture. (Dalam produk demi produk, pasar demi pasar, plastik menantang bahan tradisional dan menang, mengambil tempat baja di mobil, kertas dan kaca dalam kemasan, dan kayu di furniture),” (Freinkel, 2011)
Dan kekhawatiran tersebut menjadi nyata. Pada tahun 1960-an, Amerika mulai menyadari bahaya plastik bagi keselamatan lingkungan setelah menyaksikan puing-puing plastik di lautan yang berpotensi menimbulkan masalah bagi lingkungan.
Baca Juga: Lebih Dekat dengan Faiz Ushbah Mubarok, Penggiat Literasi Asal Malang Selatan
Rachel Carson dalam bukunya berjudul Silent Spring di tahun 1962 mengungkapkan bahaya pestisida kimia. Hal ini kemudian disusul berbagai kerusakan lingkungan seperti tumpahan minyak besar di California, dan terbakarnya Sungai Cuyahoga di Ohio yang kemudian berujung pada satu titik yang memberatkan para pengamat: Persistensi Plastik!
Dan pada akhirnya, manusia mulai menyadari bahaya dari plastik yang sebelumnya diklaim sebagai juru selamat dunia dari eksploitasi sumber daya alam. Alih-alih menyelamatkan, plastik justru merebak bagai virus yang mulai menggerogoti alam tahap demi tahap. Berkembang sebagai industri yang penuh optimisme, nyatanya plastik tumbuh sebagai simbol kesesuaian dan kedangkalan yang murah.
Penulis: Raka Iskandar
Editor: Raka Iskandar
The post Ironi Plastik, Juru Selamat Dunia yang Kini Ancam Kelangsungan Umat Manusia appeared first on MalangTODAY.
https://ift.tt/2Prdgk0
0 comments:
Post a Comment